Kamis, 03 Februari 2011

Mutu Pelayanan Farmasi di Puskesmas

Mutu Pelayanan Farmasi di Puskesmas
A.   Latar Belakang
Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang. Puskesmas adalah salah satu organisasi pelayanan kesehatan yang pada dasarnya adalah organisasi jasa pelayanan umum. Oleh karenanya, puskesmas sebagai pelayanan masyarakat perlu memiliki karakter mutu pelayanan prima yang sesuai dengan harapan pasien, selain diharapkan memberikan pelayanan medis yang bermutu.
Jaminan mutu (Quality Assurance) dalam pengelolaan dan pelayanan obat di puskesmas merupakan suatu hal yang perlu dilakukan karena obat yang diinventariskan di puskesmas menyerap dana yang cukup besar yaitu lebih kurang 30-40% dari anggaran pembangunan kesehatan di masing-masing Kabupaten/Kota. Puskesmas merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan di perifer. Pasien yang berkunjung ke puskesmas mempunyai tingkat pendidikan yang relatif rendah dibandingkan dengan pasien di perkotaan. Latar belakang pendidikan petugas di kamar obat puskesmas sangat beragam mulai dari tenaga apoteker, asisten apoteker, perawat, pekarya dan lainlain. Manajemen obat di puskesmas bertujuan agar dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke puskesmas.3 Pencapaian tujuan dan sasaran sistem pengelolaan obat, maka aspek pelayanan obat perlu diarahkan untuk menjamin penyerahan obat yang benar kepada pasien disertai dengan dosis dan jumlah obat yang tepat dalam wadah yang dapat menjamin mutu obat, serta informasi yang jelas dan benar yang disampaikan saat pasien menerima obat.
Kota Padang memiliki 19 puskesmas, 56 puskesmas pembantu dan 18 puskesmas keliling roda empat.5 Walaupun petugas pengelola obat sudah pernah mengikuti pelatihan manajemen obat yang diadakan oleh Kanwil Kesehatan Propinsi Sumatera Barat tahun 1998 dan sekali Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan 22 tahun dilakukan pertemuan sehari yang membahas tentang manajemen obat puskesmas yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kota Padang, serta secara berkala pihak Gudang Farmasi dan Seksi
Farmasi di Dinas Kesehatan Kota Padang telah melakukan supervisi dan pembinaan, ternyata masih ditemui masalah baik dalam manajemen obat, maupun dalam pelayanan obat antara lain masih adanya (10%) obat yang bukan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) tersedia di puskesmas. Kurang lebih 80% puskesmas melakukan perencanaan kebutuhan obat belum sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya, sehingga terdapat stok obat yang berlebih tapi dilain pihak terdapat stok obat yang kosong. Pada tahap penyimpanan obat di gudang obat puskesmas, misalnya masih ada puskesmas yang belum menggunakan sistem FIFO dan FEFO dalam penyimpanan. Pengisian kartu stok obat tidak dilakukan secara rutin setiap hari, sehingga menyebabkan perbedaan catatan antara barang yang ada dengan kartu stok, masih ditemukan obat rusak, kadaluarsa atau tidak pernah digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama. Begitu juga dengan masalah pendistribusian, permintaan obat dari puskesmas pembantu sering tidak dapat dilayani sepenuhnya karena obat tidak mencukupi untuk puskesmas induk.
Masalah juga ditemukan pada saat pelayanan obat dimana pasien harus menunggu lama karena lamanya waktu penyiapan obat (143 detik), pelabelan obat yang kurang lengkap (hanya mencantumkan aturan pakai pada kemasan plastik bening menggunakan spidol), dan sewaktu penyerahan obat, tidak diberikannya/tidak lengkapnya informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien (rata-rata waktu penyerahan obat 12,32 detik). Permasalahan yang juga dijumpai di puskesmas adalah masalah penggunaan obat yang tidak rasional antara lain penggunaan antibiotik yang masih tinggi (30 %) pada kasus ISPA non pneumoni dan diare non spesifik. Berbagai masalah uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian berikut, bagaimana mutu pelayanan farmasi di puskesmas Kota Padang, yang dikaitkan dengan manajemen obat, supervisi dan pelatihan. Tujuan penelitian tersebut adalah : (1) Mempelajari gambaran tentang mutu pelayanan farmasi di puskesmas kota Padang; (2) Mempelajari pelaksanaan manajemen obat di puskesmas kota Padang; (3) Mempelajari pelatihan manajemen obat yang pernah diikuti oleh tenaga pengelola obat puskesmas; (4) Mempelajari efektifitas supervisi yang dilakukan oleh Gudang Farmasi, Dinas Kesehatan Kota Padang dan Pimpinan Puskesmas.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental/observasional dengan metode campuran. Analisis data menggunakan rancangan cross-sectional secara deskriptif dengan mengukur variabel mutu pelayanan farmasi, manajemen obat, pelatihan dan supervisi.
Penelitian dilakukan di puskesmas Kota Padang. Waktu penelitianJanuari 2006 dengan unit analisis 19 puskesmas Kota Padang. Subjek penelitian adalah Kepala Puskesmas, Kepala Gudang Farmasi dan Kepala Seksi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Padang, serta Pengelola Obat Puskesmas (Asisten Apoteker) dan pasien. Mutu Pelayanan Farmasi adalah pelayanan obat yang baik yang dilakukan oleh petugas pengelola obat (Asisten Apoteker), Manajemen Obat adalah suatu rangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan obat, serta pelayanan obat Pelatihan adalah pelatihan manajemen obat yang pernah diikuti oleh pengelola obat (Asisten Apoteker) puskesmas. Supervisi adalah pengawasan secara terencana oleh Petugas Gudang Farmasi dan Dinas Kesehatan Kota Padang serta Pimpinan Puskesmas terhadap pelaksanaan manajemen obat di puskesmas Kota Padang serta menjaga manajemen obat agar tidak menyimpang dari ketentuan.
Hasil dan Pembahasan
Mutu Pelayanan Farmasi.
Mutu pelayanan farmasi diukur dari tujuh indikator, yaitu rata-rata waktu penyiapan obat, rata-rata waktu penyerahan obat, persentase jumlah obat yang diserahkan sesuai resep, persentase jenis obat yang diserahkan sesuai resep, persentase penggantian resep, persentase label yang lengkap, dan persentase pengetahuan pasien.
Rata-rata Waktu Penyiapan Obat
Pengukuran dilakukan mulai resep masuk ke loket sampai nama pasien dipanggil, hal ini berhubungan dengan waktu tunggu pasien. Hasil pengamatan terhadap 570 pasien waktu penyiapan obat diperoleh rata-rata sebesar 71 detik dengan range 23-149. Penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang yang dilakukan oleh Tubagus (1996) menemukan rata-rata waktu penyiapan obat 65-98 detik.6 Dan di Tanzania 78 detik.7 Hasil pengamatan memperlihatkan beberapa (31,6) puskesmas mempunyai rata-rata waktu penyiapan obat melebihi rata-rata, hal ini disebabkan karena kurangnya jumlah tenaga pengelola obat (Asisten Apoteker) yang melayani obat dibanding jumlah kunjungan resep yang harus dilayani, satu orang asisten apoteker untuk 90-100 resep pasien per hari.
Rata-rata Waktu Penyerahan Obat
Pengukuran dimulai dari nama pasien dipanggil sampai pasien meninggalkan loket. Hal ini berhubungan dengan adanya informasi atau kelengkapan informasi yang diberikan. Hasil pengamatan terhadap 570 pasien waktu penyerahan obat diperoleh rata-rata sebesar 13 detik dengan range 2-33 detik. Penelitian oleh Tubagus (1996) memperlihatkan rata-rata waktu penyerahan obat 6-12 detik. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa sebagian besar (63,2%) puskesmas mempunyai waktu penyerahan dibawah rata-rata, hal ini disebabkan karena pasien tidak diberi informasi yang lengkap tentang obat yang diterimanya, bahkan ada yang tidak diberi informasi sama sekali. Pasien yang mendapatkan informasi baik cenderung secara aktif akan berpartisipasi dalam pengobatannya dan mendukung saran-saran yang diberikan bahkan ia akan lebih bertanggung jawab dalam mengatur pengobatannya (Barber, 2000).8 Hermawan (1997) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pelayanan pemberian informasi obat hanya sebatas aturan pakai dan cara pemakaiannya, sedangkan informasi yang lebih spesifik seperti indikasi, kontra indikasi, efek samping obat, tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi efek samping, kenapa pengobatan harus diteruskan dan lain sebagainya, hampir tidak pernah dilakukan.9
Persentase Jumlah Obat Sesuai Resep yang Diserahkan Kepada Pasien
Pengukuran dilakukan dengan mengamati apakah obat yang diserahkan kepada pasien cukup jumlahnya sesuai atau kurang dari yang dimaksudkan dalam resep. Pengukuran ini juga dapat menggambarkan tingkat kecukupan obat di kamar obat/apotik. Hasil pengamatan terhadap 570 resep per pasien persentase jumlah obat yang diserahkan sesuai resep kepada pasien 95,4% dengan range 94-100%. Penelitian di Nepal yang menemukan persentase jumlah penyerahan obat sesuai resep kepada pasien 73%. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa hampir semua puskesmas mengurangi jumlah obat, yang tertulis dalam resep 10, yang diberikan 9 (hanya berlaku untuk jenis obat yang jumlahnya tertulis dalam resep 10), sedangkan jumlah lain tidak dikurangi, khusus antibiotik, jumlah yang diberikan tidak pernah dikurangi. Alasan yang diberikan oleh hampir semua petugas pengelola obat puskesmas adalah untuk menanggulangi dalam pemeriksaan BPKP karena adanya obat pecah dari kemasan asli, adanya obat jatuh saat penyiapan obat dan adanya obat hilang. Namun ada beberapa (10,52%) puskesmas yang tidak mengurangi jumlah obat yang diberikan dengan alasan kalau terjadi hal diatas, maka dicatat di
buku pengeluaran.
Persentase Jumlah Jenis Obat yang Diserahkan Sesuai Resep Kepada Pasien
Pengukuran dilakukan dengan mengamati apakah obat yang diserahkan kepada pasien cukup jumlah jenis sesuai yang dimaksudkan dalam resep. Pengukuran ini dapat menggambarkan tingkat kecukupan obat di kamar obat/apotik. Hasil pengamatan terhadap 570 pasien, jenis penyerahan obat sesuai resep diperoleh 100%. Hal ini karena petugas memberi tahu sebelumnya kepada pembuat resep tentang item obat yang tersedia di puskesmas.
Persentase Penggantian Resep
Pengukuran dilakukan dengan mengamati berapa banyak item obat dalam resep yang diganti baik oleh petugas maupun oleh penulis resep (presciber) karena alasan obat tidak tersedia atau habis. Hasil pengamatan terhadap 570 resep pada 19 puskesmas menunjukkan 0% penggantian resep. Hal ini disebabkan karena adanya pemberitahuan sebelumnya dari petugas kepada pembuat resep tentang obat apa yang masih ada, dan obat apa yang sudah habis.
Persentase Label yang Lengkap
Pengukuran dilakukan dengan mengamati kelengkapan label dari ditulisnya nomor urut resep, tanggal, nama pasien, aturan pakai serta cara pakai dengan nilai setiap item 1 dan nilai maksimal 5. Nilai 1 diperoleh apabila hanya mencantumkan aturan pakai pada label, nilai 2 diperoleh apabila mencantumkan aturan pakai dan nama pasien dan nilai 3 diperoleh apabila mencantumkan aturan pakai, nama pasien dan cara pakai/peringatan. Nilai 4 diperoleh apabila
mencantumkan aturan pakai, nama pasien, cara/waktu pakai dan tanggal. Nilai 5 diperoleh apabila mencantumkan aturan pakai, nama pasien, cara/waktu pakai, tanggal dan nomor urut resep. Hasil pengamatan terhadap 570 obat pasien yang dilabeli, ternyata nilai berkisar antara 1 sampai 3 dengan komposisi 453 sampel (79,5%) mempunyai nilai 1, 105 sampel (18,4%) mempunyai nilai 2, serta hanya 12 sampel (2,1%) nilai 3, selanjutnya 0% untuk nilai 4 dan nilai 5. Diperoleh hasil hanya 2,1% puskesmas mencantumkan aturan pakai nama dan cara/waktu pakai/peringatan pada label obat yang ditulis pada kemasan kantong plastik bening dengan menggunakan spidol. Penulisan nama pada label hanya dilakukan apabila ada 2 pasien mempunyai alamat yang sama. Hanya sebagian kecil puskesmas (2,1%) yang mencantumkan cara pakai/peringatan pada label yaitu “kapan perlu” untuk obat demam dan analgetik. Alasan yang dikemukan oleh petugas adalah kalau label dibuat lengkap maka pasien akan lama menunggu, sedangkan pasien banyak. Penelitian yang dilakukan di Region hanya 10,2% yang mempunyai label yang benar. Semua puskesmas hanya memakai kemasan kantong plastik bening yang langsung ditulis aturan pakai pada kantong plastik tersebut dengan menggunakan spidol. Untuk yang dibotol dan salep, langsung ditulis dengan spidol pada kemasannya tanpa menempelkan etiket. Yang perlu ditulis pada etiket adalah, nama pasien, aturan pakai obat dan waktu pakai, contoh : malam hari, sebelum makan dan sesudah makan.
Persentase Pengetahuan Pasien
Pengukuran ini dimaksud untuk melihat apakah ada diberikan informasi kepada pasien tentang obat yang diterimanya sehubungan dengan aturan pakai, cara pakai dan peringatan lainnya dan seberapa jauh informasi yang diberikan tersebut dapat diterima/dimengerti oleh pasien, dan diberikan nilai pada setiap item pertanyaan. Nilai berkisar antara 1 sampai 3. nilai 1 diberikan bila pasien hanya dapat menjawab 1 pertanyan dengan benar, nilai 2 diberikan bila pasien dapat menjawab 2 pertanyaan dengan benar dan nilai 3 bila pasien mampu menjawab 3 pertanyaan dengan benar. Dari 570 pasien terlihat , 370 pasien (64,9%) mampu menjawab 1 pertanyaan dengan benar, dan 148 pasien (25,9%) mampu menjawab 2 pertanyaan dengan benar serta 52 pasien (9,1%) mampu menjawab 3 pertanyan dengan benar. Diperoleh hasil hanya 9,1% pasien mampu menjawab tentang aturan pakai dan cara/waktu pakai serta peringatan lain. Hal ini disebabkan karena informasi yang diberikan petugas kepada pasien tentang obat yang diterima kurang lengkap. Sejak diterimanya hak pasien untuk memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan dan pengobatannya, maka pasien tidak lagi dilakukan sebagai objek, melainkan sebagai partner.
Manajemen Obat.
Manajemen obat diukur dari aspek perencanaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan obat.
Perencanaan obat
Perencanaan obat di pukesmas Kota Padang belum mempertimbangkan waktu tunggu, sisa stok, waktu kekosongan obat serta DOEN dan pola penyakit. Pengelola obat puskesmas melakukan permintaan obat hanya memperhitungkan jumlah pemakaian obat pada periode sebelumnya ditambah dengan 10-30%, artinya pengelola obat melakukan permintaan obat tidak pernah menghitung stok optimum yang menjadi dasar permintaan obat ke gudang farmasi, sehingga kesinambungan ketersediaan jumlah dan jenis obat di puskesmas tidak terjamin. Pengamatan dilakukan terhadap dokumen perencanaan meliputi LPLPO dan catatan harian penerimaan dan pengeluaran obat baik di gudang puskesmas maupun di kamar obat. Persentase Kesesuaian Item Obat yang Tersedia dengan DOEN Pengukuran ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa jenis obat yang tersedia di puskesmas sudah berdasarkan DOEN yang terbaru. Hal ini diperlukan karena penetapan obat dalam DOEN telah mempertimbangkan, analisis biaya manfaat dan obat yang benarbenar dibutuhkan untuk puskesmas, sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemanfaatan dana pengadaan obat. Dari pengukuran obat yang tersedia sesuai DOEN diperoleh 95-97%, hal ini menunjukkan masih tersedia beberapa jenis obat bukan DOEN di puskesmas seperti, becefort, bioneuron, asam mefenamat dan piroxicam. Pengadaan obat dengan merek dagang tersebut adalah pengadaan tahun 2004, yang masih bersisa di puskesmas. Dari hasil wawancara dengan Kepala Gudang Farmasi (GFK), bahwa penyediaan obat bukan DOEN atas permintaan pukesmas. Persentase Tingkat Ketersediaan Obat Pengukuran ini dilakukan untuk memastikan obat yang tersedia di puskesmas dapat memenuhi kebutuhan populasi, berarti jumlah obat tersedia di gudang minimal harus sama dengan stok selama waktu tunggu kedatangan obat untuk menjamin kesinambungan pelayanan obat untuk mendukung pelayanan kesehatan di puskesmas. Hasil pengukuran diperoleh tingkat ketersedian obat dipuskesmas 1-15 bulan. Dari hasil wawancara dengan petugas mengatakan bahwa akhir-akhir ini ketersediaan obat di gudang jarang yang mengalami kekurangan apalagi kosong, karena setiap permintaan yang dilakukan oleh puskesmas hampir semua dipenuhi oleh gudang farmasi baik jumlah maupun jenisnya.
Penyimpanan Obat.
Penyimpanan obat dimaksudkan untuk memelihara mutu obat,  menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga kelangsungan persediaan, memudahkan pencarian dan pengawasan. Metode penyimpanan untuk setiap puskesmas bervariasi, tergantung pada keadaan fasilitas penyimpanan. Umumnya puskesmas sudah melakukan rotasi obat dengan sistim FIFO dan FEFO, dan menyusun secara alfabetis, meskipun masih ada ditemukan yang tidak, hal ini karena keterbatasan ukuran gudang yang bervariasi dari yang berukuran
2x2 m2, gelap, sampai pada berukuran 3x4 m2, terang serta mempunyai cukup sirkulasi udara. Umumnya puskesmas Kota Padang tidak mempunyai meja khusus untuk pekerjaan administrasi gudang, sehingga pekerjaan tersebut dikerjakan di ruang lain seperti di ruang kamar obat. Untuk keamanan gudang, umumnya puskesmas sudah mempunyai pintu/kunci ganda dan kunci hanya dipegang oleh pengelola obat penanggung jawab gudang.
Persentase Kecocokan antara Obat dan Kartu Stok. Pengukuran ini dilakukan untuk memastikan tingkat ketepatan sistem pencatatan stok yang mencerminkan keadaan nyata sistem obat, karena sistem pencatatan stok yang tidak akurat, akan menyebabkan kerancuan untuk melihat obat kurang atau obat berlebih. Hasil pengukuran terhadap kecocokan antara kartu stok dengan keadaan obat yang sebenarnya diperoleh 60-100%. Terjadinya ketidak cocokan antara jumlah obat pada kartu stok dengan yang sebenarnya disebabkan karena pengisian kartu stok oleh petugas obat tidak dilakukan pada saat transaksi (menerima dan mengeluarkan) obat. Dari hasil pengamatan masih ada puskesmas yang tidak meletakkan kartu stok bersamaan/berdekatan dengan obat yang bersangkutan, dengan alasan ukuran gudang yang terlalu sempit, sehingga susah melakukan pencatatan di gudang obat, dan keadaan gudang yang ada rayapnya menyebabkan kartu stok rusak apabila diletakkan pada masing-masing jenis obat serta keadaan gudang yang selalu digenangi air,karena daerah banjir. Persentase Obat Kadaluarsa dan Obat Rusak
Pengukuran ini dimaksudkan untuk memastikan tidak adanya obat kadaluarsa di puskesmas karena adanya obat kadaluarsa dan obat rusak mencerminkan ketidak tepatan permintaan dan atau kurang baiknya pengamatan mutu dalam penyimpananan obat dan atau perubahan pola penyakit. Dari hasil pengukuran diperoleh persentase obat kadaluarsa dan obat rusak 0%. Dari hasil wawancara dengan petugas mengatakan bahwa tidak terdapatnya obat kadaluarsa dan obat rusak di puskesmas karena semua obat kadaluarsa dan obat rusak di puskesmas sudah diambil oleh gudang farmasi untuk dilakukan pemusnahan. Persentase Obat yang tidak Diresepkan Pengukuran ini dimaksudkan untuk melihat obat-obat yang tidak pernah diresepkan selama 6 bulan (stok mati), karena obat yang tidak pernah diresepkan akan menyebabkan terjadinya kelebihan obat. Untuk itu perlu dilakukan komunikasi antara pengelola obat dengan pengguna obat agar tidak terjadi hal seperti itu. Dari hasil pengukuran diperoleh persentase obat yang tidak diresepkan 1,3- 15,78%. Hal ini menggambarkan bahwa terdapatnya beberapa jenis obat yang menjadi stok mati seperti obat-obat malaria yaitu kuinin HCl inj, klorokuin, disebabkan karena jarangnya kasus malaria di Kota Padang, dan dari hasil wawancara dengan Kepala Gudang Farmasi Kota Padang mengatakan bahwa pengadaan obat malaria ini adalah pengadaan P2M Pusat.
Pendistriusian Obat
Distribusi obat dilakukan sekali sebulan dari puskesmas ke sub-sub unit antara lain, sub unit dilingkungan puskesmas (kamar obat/apotik, laboratorium), puskesmas pembantu, puskesmas keliling, posyandu dan polindes. Pendistribusian ini berdasarkan pada permintaan sub unit tersebut ke gudang obat puskesmas dengan menggunakan LPLPO sub unit. Untuk kegiatan di posyandu, puskesmas keliling dan di kamar suntik pengadaannya dilaksanakan melalui kamar obat/apotik.
Penggunaan Obat
Pengendalian penggunaan obat perlu dilakukan untuk menjaga kualitas pelayanan obat dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan dana obat. Penggunaan obat di puskesmas Kota Padang baik jenis maupun jumlahnya sangat tergantung pada peresepan yang dilaksanakan di poliklinik oleh prescriber. Meskipun sudah ada buku pedoman pengobatan di puskesmas, ternyata tidak semua prescriber patuh menggunakannya. Persentase Pemakaian Antibiotik Pengukuran ini dimaksudkan untuk melihat tingkat kerasionalan obat di puskesmas dengan indikator penggunaan antibiotika pada kasus diare non spesifik dan ISPA non pneumoni. Pemakaian antibiotika
pada ke dua kasus ini merupakan penggunaan obat yang tidak rasional karena tidak sesuai dengan pedoman pengobatan yang ada. Hasil pengukuran persentase penggunaan antibiotika pada bulan Desember 2005 adalah 0-47%. Dari hasil pengamatan terhadap pola peresepan di puskesmas Kota Padang, pemakaian  yang tinggi ini disebabkan karena prescriber (pembuat resep) tidak menggunakan standar pengobatan yang ada di puskesmas, dan ini banyak dilakukan terutama apabila pembuat resepnya belum mendapatkan pelatihan Penggunaan Obat Secara Rasional (POSR), seperti dokter PTT dan lainnya. Persentase Pemakaian Injeksi Pengukuran ini dimaksudkan untuk melihat tingkat kerasionalan obat di puskesmas dengan indikator penggunaan injeksi pada kasus myalgia. Pemakaian injeksi pada kasus ini merupakan penggunaan obat yang tidak rasional karena tidak sesuai dengan pedoman pengobatan yang ada. Hasil pengukuran persentase penggunaan injeksi pada kasus myalgia pada bulan Desember 2005 adalah 0%. Dari hasil wawancara dengan Pimpinan Puskesmas mengatakan bahwa untuk pemakaian injeksi pada kasus myalgia, para pembuat resep sudah mempedomani standar pengobatan.

Polifarmasi
Pengukuran ini dimaksudkan untuk melihat tingkat kerasionalan obat. Peresepan polifarmasi mencerminkan penggunan obat yang tidak rasional yang berdampak pada inefisiensi/pemborosan. Pengukuran polifarmasi melihat jumlah jenis obat seluruh sampel resep untuk pasien dengan diagnosa tunggal untuk penyakit yang ditetapkan, misalnya diare akut non spesifik, ISPA non pneumoni dan myalgia . Hasil pengukuran terhadap rata-rata obat per lembar resep berkisar antara 2,5-3.9.
Pelatihan
Sejak otonomi daerah Januari tahun 2001, Dinas Kesehatan Kota Padang belum pernah melakukan pelatihan manajemen obat untuk pengelola obat puskesmas, dengan alasan karena keterbatasan dana,yang dilakukan hanya pertemuan sehari tentang manajemen obat bagi pengelola obat puskesmas, yang diadakan sekali 2 tahun. Oleh karena itu peneliti menilai aspek pelatihan dari pelatihan yang pernah diikuti oleh pengelola obat puskesmas yang diadakan pada tahun 1998 oleh Kanwil Kesehatan Propinsi Sumatera Barat. Dari hasil wawancara dengan pengelola obat puskesmas dan informasi dari Dinas Kesehatan Kota Padang, bahwa dari 56 Asisten Apoteker (AA) yang menyebar di 19 puskesmas Kota Padang, hanya 24 orang yang sudah pernah mengikuti pelatihan dan 32 orang asisten apoteker yang belum pernah mengikuti pelatihan manajemen obat. Pelatihan ini diadakan selama 5 hari, dengan narasumber yang berasal dari Ditjen. POM Depkes. R.I dan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat. Pelatihan perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dan perubahan perilaku pada penampilan kerja.12 Pelatihan secara konvensional dalam kelompok besar umumnya tidak banyak memberikan perbaikan, pelatihan kelompok kecil, umumnya akan lebih bermanfaat, apalagi disertai dengan pemantauan dan supervisi.
Supervisi
Penilaian supervisi dilihat dari supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan kota Padang, Gudang Farmasi dan Pimpinan Puskesmas. Dari hasil jawaban responden, supervisi manajemen obat yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Padang sekali setahun, supervisi oleh gudang farmasi sekali setahun dan supervisi oleh Pimpinan Puskesmas ada yang menjawab setiap bulan (45,3%) dan 54,7% menjawab setiap 3 bulan. Supervisi merupakan salah satu fungsi dari manajemen dan kepemimpinan dimaksudkan untuk memastikan bahwa staf pelaksana telah melaksanakan kegiatan secara efektif.13 Hampir semua responden (pengelola obat 19 puskesmas) mengatakan bahwa supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Padang dan Gudang Farmasi menyampaikan cara pengelolaan dan
pelayanan obat yang baik, menanyakan masalah yang dihadapi sehubungan dengan pengelolaan dan pelayanan obat, tapi tidak memberikan umpan balik serta evaluasi hasil supervisi kepada puskesmas yang bersangkutan. Supervisi yang disertai dengan umpan
balik dan diskusi kelompok kecil berhasil meningkatkan upaya tertib
distribusi obat.
Kesimpulan
Mutu pelayanan farmasi di puskesmas Kota Padang belum baik yaitu tidak diberikannya informasi saat penyerahan obat kepada pasien, adanya pengurangan jumlah obat sesuai resep yang diberikan kepada pasien, kurang lengkapnya label yang dicantumkan pada kemasan obat pasien, informasi yang diberikan oleh petugas tentang obat tidak lengkap. Manajemen obat di puskesmas Kota Padang belum baik yaitu masih tersedianya obat bukan DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional) di puskesmas, ketersediaan obat di puskesmas belum efisien, yang terlihat dari tingkat ketersediaan disatu sisi masih rendah. Tingkat ketersediaan obat berlebih dan masih tingginya persentase ketidak cocokan antara kartu stok dengan keadaan obat sebenarnya. Masih adanya stok obat mati, masih tingginya penggunaan antibiotik dan polifarmasi untuk kasus ISPA non pnemoni dan diare non spesifik. Tidak adanya obat kadaluarsa dan obat rusak di puskesmas, tidak ada lagi penggunaan injeksi pada kasus myalgia Pelatihan manajemen obat di puskesmas Kota Padang belum pernah dilakukan karena keterbatasan dana, hanya pertemuan sehari tentang manajemen obat yang diadakan setiap dua 2 tahun sekali. Petugas pengelola obat (Asisten Apoteker) pernah mengikuti pelatihan
manajemen obat tahun 1998 yang diadakan oleh Kanwil Kesehatan Propinsi Sumatera Barat. Dari 56 petugas Asisten Apoteker, terdapat 24 orang yang pernah dilatih dan 32 yang belum pernah dilatih. Supervisi terhadap manajemen obat di puskesmas yang dilakukan oleh Gudang Farmasi dan Dinas Kesehatan Kota Padang sekali dalam 6 bulan, tidak disertai dengan umpan balik dan evaluasi, serta penilaian yang kurang tajam, terbukti dari tidak adanya arsip dokumen umpan balik dan evaluasi tertulis yang disampaikan kepada pimpinan puskesmas.
Saran
Perlu dilakukan peningkatan mutu pelayanan farmasi di puskesmas, terutama terhadap aspek pelayanan obat di apotik puskesmas mulai dari resep masuk ke loket apotik sampai obat diserahkan kepada pasien. Puskesmas memastikan bahwa pasien mengerti dengan obat dan pengobatan yang diterimanya, dengan cara mencantumkan label yang lengkap, memberikan informasi yang lengkap kepada pasien dan tidak mengurangi jumlah obat yang diberikan kepada pasien. Perlu dilakukan peningkatan terhadap manajemen obat mulai dari perencanaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan obat seperti penekanan penghitungan obat berdasarkan stok optimum, tidak melakukan permintaan obat yang bukan DOEN, pencatatan mutasi obat dilakukan pada saat penerimaan dan pengeluaran obat. Dan penekanan penggunaan buku pedoman pengobatan. Perlu dilakukan pelatihan manajemen obat terhadap pengelola obat (Asisten Apoteker) di puskesmas, karena masih banyak pengelola obat yang belum pernah dilatih dan sudah lamanya waktu pelatihan yang diikuti oleh pengelola obat yang sudah pernah dilatih. Perlu dilakukan supervisi dan monitoring yang berkesinambungan oleh Gudang Farmasi dan Dinas Kesehatan Kota Padang yang disertai dengan umpan balik, evaluasi serta penilaian yang tajam baik lisan maupun tertulis terhadap pelaksanaan manajemen obat di puskesmas.
Daftar Pustaka
1. Wijono., 1997. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Airlangga. Universitas Press. Surabaya.
2. Departeman Kesehatan RI., 2002. Daftar Tilik Jaminan Mutu (Quality Assurance) Pelayanan Kefarmasian di Pelayanan
Kesehatan Dasar. Dep.Kes. RI. Jakarta.
3. Departeman Kesehatan RI., 2003. Materi Pelatihan Pengelolaan Obat di Kabupaten/Kota. Dep.Kes. RI. Jakarta.
4. Quick, J.D., Hume, M.L., Rankin, J.R., O’Connor, R.W., 1997. Managing Drug Supply. 2nd ed. Revised and Expandet. Kumarin
Press. West Hartford.
5. Dinas Kesehatan Kota Padang., 2005. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Padang 2005. Kota Padang Propinsi Sumatera Barat.
6. Tubagus., 1996. Dampak Penempatan Asisten Apoteker Terhadap Pengelolaan dan Mutu Pelayanan Mutu Obat di Puskesmas. Tesis Program Studi S2 IKM. UGM. Yogyakarta.
7. WHO., 1993. How to Investigate Drug Use in Health Facilities. Selected Drug Use Indicators. Action Programme on Essentiale Drugs. WHO Geneva.
8. Barber, N., Wilson, A., 2000. Churchill’s Clinical Pharmacy Survival Guideline. Hartcourt Publisher Limited. London.
9. Hermawan., 1997. Cakupan informasi dalam proses penyerahan obat dengan resep di Apotek Kotamadya Yogyakarta. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
10. Departeman Kesehatan RI., 2004. Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas. Dep.Kes. RI. Jakarta.
11. Santoso, B., Suryawati, S., Prawitasari, J.E., 1996. Small Group Intervention VS Formal Seminar for Improving Appropriate Drug Use. Soc.Sci.Med. vol.42 (8) : 1163-1168.
12. Truelove, S., 1995. The Handbook of Training and Development. Black Well Publish.Ltd., Massachusetts.
13. Flahault, D., Piot, M., Franklin, A., 1998. The Supervision of Health Personnel at Distric Level. WHO. Geneva.
14. Purwiyati., 2002. Upaya Tertib Distribusi Obat Melalui Supervisi dengan Umpan Balik dan Diskusi Kelompok Kecil di Puskesmas Kabupaten Sleman. Tesis Program Studi S2 IKM. UGM. Yogyakarta.

1 komentar:

  1. Golden Nugget Casino & Resort, NV Reviews | Mapyro
    Find reviews, hours, directions, and more for Golden Nugget Casino 경상북도 출장샵 & Resort in Las Vegas, 익산 출장샵 NV. 인천광역 출장샵 Rating: 전주 출장마사지 3.6 · ‎2,147 충청남도 출장샵 votes

    BalasHapus